Kamis, 01 Oktober 2020

Ruang Lingkup dan Sifat Hukum Pidana yang Masih Jadi Perdebatan







Photo by Max Kleinen on Unsplash - 

Dalam kehidupan pribadi kita, bidang hukum yang paling sering kita lihat atau rasakan baik secara langsung maupun tidak langsung adalah hukum pidana.

Belum tentu dengan melanggar prinsip-prinsipnya, individu warga negara akan lebih sering menghadapi kesulitan dalam kehidupan sehari-harinya.

Mengingat sebagai faktor konsekuensi hukum dari setiap tindakan atau keputusan yang diinginkan akan melalui proses pengambilan keputusan yang berbeda-beda.

Bagi kebanyakan dari kita, kita cenderung menjalani hidup dalam batas-batas yang telah ditentukan hukum.

Tanpa berpikir dua kali atau mempertanyakan moralitas dari pilihan terlarang atau otoritas moral di balik perbuatan itu.

Dalam artikel ini, kami usulkan untuk melihat sisi lain sifat dan ruang lingkup hukum pidana dalam masyarakat kita.

Dan untuk membahas apakah sebagai suatu entitas terlalu mengganggu, atau apakah secara alami merupakan aspek yang diperlukan dalam mengatur masyarakat.

Secara akademis sering dikatakan bahwa warga negara menikmati kebebasan untuk bertindak sesuai dengan keinginannya dalam hidup.

Tetapi, tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan pidana dan sistem peradilan pidana di negaranya.

Diperkirakan juga bahwa sebagai warga negara tertentu, yang sebagian besar memiliki kebebasan untuk memilih di mana kita tinggal di bumi ini, secara tersirat kita menerima otoritas ketentuan hukum yang relevan, yang sebagian besar mengatur pada tingkat moral manusia.

Tentu saja ada pengecualian, yaitu hukum pidana yang bersifat regulasi atau sekunder yang tidak secara langsung mengandung pesan moral apapun, seperti batasan kecepatan atau larangan parkir.

Lantas, sejauh mana hukum pidana mencerminkan moralitas, dan lebih jauh dari sumber manakah moralitas itu diturunkan?

Hukum pidana dikatakan berlaku untuk kepentingan umum dan kemaslahatan masyarakat.

Oleh karena itu, dapat dikatakan hukum pidana melintasi batas-batas ke dalam pembatasan yang serius pada kebebasan.

Seperti ketika hukum itu mengatur tingkah laku pribadi seperti seseorang yang menggunakan narkoba dan mungkin tidak memiliki dampak yang lebih luas dari pada orang yang mengedarkan narkoba.

Mengapa hukum pidana harus memberlakukan batasan tentang apa yang dapat dilakukan seseorang dengan tubuhnya sendiri?

Tentunya kehendak bebas diri kita sendiri adalah pembenaran yang cukup baik untuk bertindak di luar lingkup hukum dalam skenario ini?

Selain itu, bidang hukum pidana yang menarik adalah potensi tanggung jawab atas kelalaian seseorang. 

Dalam pengertian ini, warga negara sebenarnya bisa dihukum walaupun tanpa bertindak kejahatan sama sekali.

Ini membawa hukum pidana di luar kerangka peraturan untuk kepentingan publik menjadi kekuatan koersif (paksaan), yang sebenarnya untuk membuat orang selalu bertindak positif dengan cara tertentu.

Misalnya, di beberapa yurisdiksi (wilayah) terdapat kewajiban hukum untuk seseorang melaporkan kecelakaan lalu lintas jalan raya.

Artinya, jika seorang warga negara yang mengetahui akan terjadinya hal tersebut tetapi ia tidak bertindak dengan cara yang ditentukan, maka dianggap telah melakukan tindak pidana.

Sekali lagi, hal ini tentunya memberikan cakupan yang luas pada hukum pidana, yang dapat dilihat oleh beberapa orang sebagai pelanggaran terhadap kebebasan dan nilai fundamental yang di atasnya telah berhasil membangun sebagian besar negara modern.

Menarik untuk mempertimbangkan dampak nyata dari hukum pidana ini dan luasnya perilaku yang dapat diaturnya.

Dari kesalahan moral yang obyektif hingga kasus-kasus yang kurang jelas dari penerapan tanggung jawab, hukum pidana menempatkan pembatasan yang ketat pada prinsip umum kebebasan absolut, yang jelas-jelas menjadi subyek banyak perdebatan akademis dan filosofis hingga saat ini.
Baca Juga :

Artikel Terkait