Senin, 30 Oktober 2017

Pengalaman Umrah Part (II-III) - Berderai Lagi dan Lagi

Tags






Pengalaman Umrah Part (II-III) - Berderai Lagi dan Lagi

Setelah puas menderaikan air mata memandang Ka’bah, rasa takjub atas Kebesaran Allah tidak berhenti sampai disitu.

Semakin dijalani rangkaian kegiatan ini, maka kebesaran Allah semakin terasa, begitu nyata dan kian besar.

Dibimbing oleh Muthowwif, kami pun mulai melaksanakan rukun-rukun umroh yang selanjutnya. Ibadah umroh adalah ibadah yang cukup sederhana sekaligus cukup rumit.

Loh kok bisa begitu ? Ya emang begitu. Sederhana maksudnya rukunnya tidak terlalu banyak, hanya 5 saja.

Rumit maksudnya hampir kesemua rukun ada pembatal-pembatal yang cukup riskan akan dilanggar. Rukun umrah yang pertama adalah Ihram dan Niat Umrah.

Meski kelihatannya sederhana, niat umrah dan ihram tidak sesederhana judulnya. Niat umrah harus dilakukan ditempat yang telah disyariatkan tidak bisa di sembarang tempat.

Sedangkan memakai ihram juga banyak pantang larang yang harus dijaga seperti tidak boleh berkata kotor.

Tidak boleh merusak tanaman, tidak boleh membunuh hewan, tidak boleh memakai minyak wangi, dan tidak boleh tidak boleh yang lainnya.

Bagi laki-laki, memakai kain ihram pun ada metode dan tekhniknya. Uuuww ribet kan ? Tapi begitulah sejatinya ibadah.

Dimana akan selalu diuji coba mujahadah/kesungguhan kita. Rukun umroh yang kedua adalah Thawaf. Kami pun turun dari lantai satu Masjidil Haram ke lantai dasarnya.

Lantai dimana Ka’bah berdiri. Uniknya struktur di Masjidil Haram adalah bahwa ketika masuk masjid melalui pintu-pintunya.

Ternyata kita sudah langsung berada di lantai 1 masjid itu, bukan lantai dasar. Sehingga kalau kita ingin thawaf di dekat Ka’bah, maka kita harus turun ke lantas dasarnya.

Jadi strukturnya itu seperti cekung di tengah. Kami pun mulai melakukan thawaf dibimbing oleh muthowif.

Kiri kanan aku sesekali memperhatikan, beragam macam bentuk manusia hadir disana, mulai dari kulit tercerah sampai kulit tergelap.

Mulai dari yang berbadan kecil, sampai yg besar, tinggi menjulang. Aku tak tahu berapa jumlahnya, entah ribuan atau bahkan ratusan ribu taksir ku.

Tapi ini jam berapa ? Ku lirik jam yang ada ditangan kananku, ini jam 4 subuh.

MasyaAllah, Jam 4 subuh saja seramai ini ? Bagaimana di waktu yang lain ?

Allahuakbar…

Entah karena suasana yang begitu mendukung, atau memang Allah masukkan kedalam hatiku kebesaran-Nya.

Tiap putaran Ka’bah selalu sukses menderaikan air mata ku kembali.

Tak berhenti disitu, selesai putaran thawaf ketujuh kami pun dibimbing untuk melaksanakan sholat sunnah thawaf di belakang Maqam Ibrahim.

Sholat mana yang lebih indah di dunia ini dibanding dengan sholat di depan Ka’bah sambil dengan penuh ketakjuban memandangnya.

Sekali lagi moment ini benar-benar berhasil menderaikan dengan dahsyat butir-butir air mata ku. Allahuakbar.

Rukun umroh kedua selesai, saatnya lanjut rukun umroh ketiga yaitu Sa’i. Sa,i dilaksanakan di lantai 1. Jadi kami harus naik lagi ke lantai 1.

Namun sebelum Sa’i dilakukan di anjurkan pula kepada kami untuk meminum air zam-zam yang tersedia bergalon-galon di setiap tepi bawah tangga di lantai itu.

Aku teringat, begitu mahalnya air ini di tanah air kita. Tapi disini kami bisa minum kapan saja dan sebanyak apapun juga. Segarrr MasyaAllah.

Sembari menunggu rombongan yang belum selesai sholat sunnah thawaf, kamipun menyempatkan pula untuk mengabadikan momen ini melalui kamera.

Memang kebiasaan orang Indonesia tak bisa dihilangkan, selfie dimanapun berada. Wkwkwkwk. Lanjut Sa’i yang momen ini juga tak kalah penting.

Apalagi kondisi tubuh sudah mulai merasakan keletihannya. Tapi letih seakan sirna sewaktu mendengar dan memahami makna Sa’I ini disyariatkan.

Ialah bermula daripada kisah ibunda Hajar yang saat itu ditinggal oleh suaminya Nabi Ibrahim AS di padang pasir tandus.

Yang berbukit-bukit terpaksa berlari-lari dari bukit safa ke bukit marwa dan mengulanginya lagi dan lagi untuk menemukan sumber air karena anaknya Ismail AS sudah menangis kehausan.

Membayangkan peristiwa ini, malu rasanya jika aku mengeluh karena letih melakukan sa’i.

Terlebih tempat sa’I saat ini telah di desain sedemikian rupa dengan lantai marmar yang mahal agar nyaman berjalan di atasnya.

Mana mungkin bisa aku mengeluh ?

Teriakku membatin.

اِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَآئِرِ اللّٰهِ ۚ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ اَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ اَنْ يَّطَّوَّفَ بِهِمَا ؕ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا ۙ فَاِنَّ اللّٰهَ شَاكِرٌ عَلِيْمٌ

"Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah. Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui."

(QS. Al-Baqarah: Ayat 158)

Hampir selesai sa’I ketiga, adzan subuh pun berkumandang. Yang lain memutuskan untuk melanjutkan sa’I.

Tapi aku mengajak Ilyas untuk segera kembali turun ke lantai dasar agar bisa mengambil shaf dan sholat di depan pintu ka’bah.

Ilyas pun menyetujuinya. Ikut pula menyertai kami Bang Dayat yang juga satu grup bersama kami. Jadilah kami bertiga turun ke lantai dasar mencari tempat sholat subuh di depan pintu ka’bah.

Untuk bisa sholat di lantai dasar, ternyata tidak bisa langsung duduk mengambil shaf. Karena akan terlindas oleh orang-orang yang thawaf.

Thawaf di Masjidil Haram hanya berhenti ketika iqomah dikumandangkan. Maka kami pun harus mengikuti arus thwaf terlebih dahulu.

Setelah mengikuti arus thawaf beberapa putaran akhirnya kami dapati juga tempat sholat di shaft itu, di multazam.

Salah satu tempat yang mustajab untuk berdoa, multazam, tepat di depan pintu ka’bah. Alhamdulillah, lagi-lagi Allah kabulkan kontan doa-doaku. Berderai lagi air mataku.

Bersambung~

*Sumber: Facebook Azhar Saputra
Baca Juga :

Artikel Terkait