Senin, 24 April 2017

Konsep, Cara dan Syarat Pengujian Peraturan Perundang-Undangan







Photo by ev on Unsplash - 

Konsep Constitusional Review dibedakan dengan istilah Judicial review :
  • Constitusional review selain dapat dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung Undang-Undang Dasar suatu Negara memberikan kewenangannya.
  • Constitusional review hanya mencakup konstitusionalitas terhadap Undang-Undang Dasar.
  • Constitusional review atau pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh lembaga apa saja, tergantung konstitusi mengamanatkannya.
  • Constitusional review atau pengujian konstitusional tidak selalu dilakukan oleh lembaga peradilan ‘court’ sebagai lembaga hukum.
  • Judicial review lebih luas cakupannya, yakni mencakup legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.
Mahkamah Agung

Pasal 24A:

  • Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi.
  • Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang.
  • Mempunyai wewenang lainnya yang diberikan Undang-Undang
Pengajuan Judicial Reveiw Ke Mahkamah Agung

Kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut:
  • MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
  • MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku
UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

1. Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara tertulis dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa Indonesia

2. Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu :
  • Perorangan warga negara Indonesia
  • Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
  • Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Pasal 31 A ayat [2] UU 3/2009

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:

1. Nama dan alamat pemohon.

2. Uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
  • Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
  • Peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
  • Hal-hal yang diminta untuk diputus.
Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam PERMA No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“PERMA 1/2004”) dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan.

Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara :
  • Langsung ke MA; atau
  • Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)
  • Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4] Perma 1/2004).
  • Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma 1/2004).
Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung (Pasal 3 Perma 1/2004) :
  • Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung.
  • Dibukukan dalam buku register permohonan.
  • Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah.
Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 4 Perma 1/2004) :
  • Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima.
  • Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan.
  • Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.
Mahkamah Konstitusi

Pasal 24 C

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Memutus sangketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang – Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK):
  • Diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
  • Suasana sidang MPR pada saat pengesahan Perubahan Ketiga Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.
  • Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
  • Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.
  • Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Kedudukan

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan

Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
  • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  • Memutus pembubaran partai politik, dan
  • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kewajiban

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga:

a. Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:
  • Penghianatan terhadap negara
  • Korupsi
  • Penyuapan
  • Tindak pidana lainnya;
b. Atau perbuatan tercela, dan/atau

c. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK) :
  • Perorangan warga negara Indonesia.
  • Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
  • Badan hukum publik atau privat, atau
  • Lembaga negara.
Pasal 30 ayat [1] UU MK

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UUMK) yang memuat sekurang-kurangnya :

a. Identitas Pemohon.

b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi :
  • Kewenangan Mahkamah
  • Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji
  • Alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
  • Mengabulkan permohonan Pemohon
  • Menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945
  • Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materil, yaitu :
  • Mengabulkan permohonan Pemohon;
  • Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945
  • Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK (6/2005) Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK) :
  • Surat atau tulisan
  • Keterangan saksi
  • Keterangan ahli
  • Keterangan para pihak
  • Petunjuk
  • Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK (6/2005)Tata cara pengajuan permohonan :

a. Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.

b. Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh calon Pemohon dengan Panitera.

c. Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa :

c. 1 Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
  • Fotokopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,
  • Bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat,
  • Akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohon adalah badan hukum,
  • Peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
d. Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan

e. Daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi.

f. Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.

g. Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.

h. Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.

i. Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.

j. Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.

*Sumber: Timbul A. S. SH
Baca Juga :

Artikel Terkait