Kamis, 12 Oktober 2017

Cerpen Nasehat - Ramadhan Untuk Mutia

Tags






Ramadhan Untuk Mutia
Cerpen Nasehat - Ramadhan Untuk Mutia
Ranting-ranting pohon yang bergelayut diterpa angin semakin menambah kesedihan didalam rumah Mutia.

Rumah yang selama ini ia huni bersama ibu dan ayahnya. Terpaan keras angin pagi itu pun sesekali menjatuhkan helai demi helai daun yang sudah mulai mengering diranting pohon.

Untuk kemudian daun-daun tersebut berserakan di halaman rumahnya.
Mutia yang memperhatikan dari jendela kamarnya telah berjaya tersindir oleh fenomena alam yang sudah setiap harinya terjadi.

Kebahagiaan dan kehangatan yang ia dapatkan dari ibu dan ayahnya selama dua puluh tahun terakhir dirumah itu kini satu persatu berjatuhan dan berserakan.

Kesalah pahaman, saling menyalahkan, dan perang mulut yang terjadi antara ibu, dan ayahnnya didalam rumah tersebut membuat ia menjadi gadis yang pemurung.

Tidak ada lagi Mutia yang ceria, setiap hari Mutia hanya mengurung diri di kamarnya. Bahkan keluar kamar untuk sekedar menghilangkan rasa lapar pun ia enggan.

Ia terus saja  memandangi bingkai-bingkai wajah orang yang ia cintai dengan deraian air mata. Ia mencoba berkomunikasi dan menaruh harapan-harapan semu kepada foto-foto yang terpajang itu.

Sudah 2 tahun ini, Mutia memutuskan untuk tidak meneruskan kuliahnya.

Disebabkan kondisi ibu yang semakin teruk akibat hantaman tangan ayah yang sering melabuh ditubuh ibunya sebagai pelampiasan emosi.

Ditambah  ayah yang jarang sekali pulang menemui keluarganya.

Kalaupun pulang pasti hanya sebentar sekedar mengganti pakaian lusuhnya yang busuk beraroma khomar dan sering sekali pergi lagi dengan meninggalkan tangis diwajah ibu nya.

Entah dimana hati naluri ayahnya kini. Entah kemana manisnya cinta yang dimiliki ayahnya sewaktu Mutia kecil hingga SMA.

Entah dimana indahnya kasih sayang ayah yang dulu ia rasakan. Harapannya untuk menggapai cita-cita di universitas ternama pun telah sirna.

Perubahan ayah yang tanpa alasan, tidak bias ia mengerti. Ayahnya menjadi sangat mudah marah, perkara kecil sering sekali dipermasalahkan hingga menjadi besar.

Selalu membentak ibu dan Mutia dengan suara yang keras. Seakan-akan ayahnya menganggap mereka berdua adalah musuhnya.

Hingga pernah suatu malam, ketika ayah pulang entah dari mana dengan agak sempoyongan ibu Mutia menyiapkan dan mengajak ayahnya makan malam bersama mereka.

Dengan nada lembut ibunya menanyakan keadaan suaminya malam itu. “Ayah kenapa?, kok kusut gitu..”

Tanpa sepatah kata pun terucap dari bibir suaminya itu, yang ada hanya diam. Dengan sabarnya lantas ibunya bertanya lagi.

“Ayah kenapa ? Kecapean yaa kok ndak jawab ibu?”

Namun kali ini ayah menjawab bukan dengan kelembutan pula, namun dengan kata kasar dan bernada keras mengejutkan heningnya malam.

“Kamu tidak lihat aku sedang pusing haa ? Kamu buat selera makanku hilang saja..” sambil  melempar piring yang masih berisi nasi itu ke lantai.

Hingga nasi dan pecahan piring berhamburan kemana-mana. Melihat ini membuat Ibunya sedih dan menangis.

Sering sekali muncul dibenak Mutia, bagaimana jika kedua orang tua nya bercerai ? Bagaimana kehidupan selanjutnya pasca perceraian kedua orang tuanya ?

Akankah ibu nya bahagia karena terlepas dari kejahatan ayahnya.

Ataukah malah semakin menderita karena tidak dapat mengembalikan keharmonisan rumah tangganya ?

Namun bukankah bertahan dalam pernikahan yang tidak membahagiakan lebih menyeramkan ketimbang hidup tanpa ayah.

Toh saat ini pun Mutia dan ibunya hidup sudah seperti tanpa ayah saja. Dan mereka mampu bertahan. Itu artinya perceraian tidak akan menghantarkan mereka kepada kematian.

***

Hari demi hari berganti, waktu demi waktu melaju. Ayahnya pergi meninggalkan Mutia dan ibunya.

Hanya menyisahkan sejarah yang indah seperti ayahnya yang kini telah benar-benar pergi meninggalkan mereka.

Tak pernah lagi kembali walau sekedar menghantarkan tangis dan luka. Entah harus sedih atau bahagia dengan kondisi hidup seperti itu.

Disatu sisi Mutia senang karena paling tidak ibunya tidak sering menangis akibat ulah ayahnya. Namun disisi lain ia iri dengan gadis seusia dengannya.

Yang hidup bahagia bersama sepasang orang tuanya, hidup dalam balutan senda dan tawa, dalam keharmonisan keluarga.

Lengkaplah kehidupan mereka itu, jika dibanding dengan keluarga Mutia yang telah serupa dengan piring kaca yang dibanting kelantai rumahnya, hancur berantakan.

Merasa terpuruk dan dipojokkan sudah pasti, bahkan ia merasa berada diposisi kehidupan paling sudut yang tertinggal.

Melalui fase yang terparah dimana setiap kali ia ingat kehangatan ayahnya saat ia SD dulu di meja makan. Ayahnya selalu menceritakan kisah-kisa hebat inspiratif.

Disaat kebanyakan orang tua membacakan kisah-kisah ketika hendak tidur dan hanya sebatas mimpi-mimpi yang sirna saat terbangun dipagi hari.

Namun tidak demikian dengan ayahnya, yang berharap kisah-kisah yang diceritakannya akan masuk bersamaan dengan makanan dan akan mendarah daging serta menjadi didikan yang istimewa bagi Mutia.

Tapi kini ? Didikan ayahnya itu sirna bersama dengan ayahnya yang telah tega meninggalkan keluarga kecilnya.

Ayah semacam itu lebih tepat jika dikatakan sebagai seseorang pendusta dan munafik. Namun setiap kali ada yang berbicara seperti itu Mutia menyangkal kalimat tersebut.

Walau ayahnya telah demikian tega menelantarkannya bersama ibunya, namun rasa sayang Mutia tidak pernah bisa hilang dan ia sangat menghormati ayahnya.

Yang ia benci hanyalah jalan haram perjudian itu yang berhasil membawa kabur ayanhnya dari rumah.

Namun Mutia yakin bahwa dengan kekuatan do’a dan usaha ayahnya pasti akan kembali menemui mereka dan menjalani Ramadhan depan bersama.

***

“Mutia… Mutiaa…..” teriak ibu yang mondar-mandir mencari anak semata wayangnya.

Seusai sahur Mutia sudah lenyap dari rumah, ibunya mengira Mutia ikut dengan teman-temannya ke Mushola untuk sholat subuh sekaligus tadarusan.

Namun gelapnya subuh telah menyingkir berganti pancaran mentari pagi, dan Mutia belum juga kembali.

“Assalamualaikum… afwan  stad, apakah Mutia tadi kesini ?” Tanya ibu Mutia pada ghorim mushola dekat rumahnya.

“Waalaikumsalam, tadi hanya teman-temannya saja yang kemari bu, dan Mutia tidak ikut serta dengan mereka..”

“Lah, jadi muti iku kemana toh ? Buat ibu khawatir saja kamu ndok…” lirih ibu dalam hati. “ooh.. yowis, kalo gitu.

Matur suwun nggih stad. Assalamualaikum” jawab ibu kepada ghorim dan berlalu meninggalkan mushola.

Tuling..tuling…tulingg.. sudah beberapa kali Ponsel Mutia berdering, panggilan tidak terjawab dari ibu mengisi monitor kecil ponselnya.

Mutia meneruskan perjalanan dengan teriknya matahari dan panasnya udara kian terasa menambah penderitaannya.

Keringat bercucuran dengan deras membasahi sekujur tubuh dan membuat kering tenggorokan.

Haus dan lapar harus mampu ia tahan, demi bertemu dengan ayahnya, hanya itu yang ada di benak Mutia saat ini.

Saat dimana hari pertama bulan suci umat Islam berada dan matahari tepat berada di atas ubun-ubun. Membakar sekujur tubuh dengan suhu yang kian hari semakin bertambah tinggi.

Mutia berjalan dengan langkah satu-satu, entah berapa banyak waktu yang ia buang untuk berjalan kaki dari rumah menuju arah yang tak pasti.

Langkah kaki yang berat  itu disusul dengan anak-anak yang berlarian saling berkejaran dengan pekikan riang gembira.

Disambut dengan ayah-ayah para bocah dan menghilang ditelan belokan gang di hadapannya. Pertunjukan singkat itu membuat bathinnya semakin perih.

Perjalanan panjang seharian yang tak berbuahkan hasil yang ia harapkan. Membuat semangatnya kian hilang bersamaan dengan teriknya mentari yang ditelan senja.

“Assalamualaikum buu…” “Wa’alaikumsalam..” sahut ibu dari dalam. “Muti dari mana saja kamu ndok ?

Mengapa kamu ndak jawab telpon ibu ? Ibu khawatir sama kamu” tambah ibunya dengan pertanyaan panjang lebar.

“Sudahlah buu, yang penting muti kan sudah balik..” sahut Mutia dengan lesu. “Kamu masih shaum toh ?”

Tanya ibu. “Masih buu..” jawab Mutia. “Yowiss.. yuk kita siapin makanan, sebentar lagi bedug” ajak ibu nya dengan perasaan gembira karena anak semata wayang nya telah kembali.

Seusai sholat tarawih, Mutia dan ibunya berjalan dari mushola menuju rumahnya.

Diperjalanan, “mutii…”  seorang pria paruh baya memanggil nya dengan panggilan yang akrab dengan suara lirih.

Ia menoleh kiri kekanan, siapa gerangan yang memanggilnya. “Mutii..” sekali lagi panggilan itu membingungkan Mutia. Ia terus mencari asal suara tersebut.

Saat matanya liar, tiba-tiba ia terbelalak kepada satu rumpun bunga raya, ia melihat asal suara yang memanggilnya dari sana.

“Ayaaah…!!” teriak Mutia dengan air muka gembira. Langsung saja ia berlari menghampiri ayahnya dan memeluknya.

Seakan tak percaya ayahnya akan kembali diawal Ramadhan seperti yang ia harapkan. Pelukan Mutia pada ayah disusul oleh dekapan ibu yang juga merindukan ayah bertahun lamanya.

Dan jadilah mereka bertiga saling berpelukan. “Ayah pulang muti, ayah pulang buuu..maafkan ayah yaa..” ucap ayah.. “maafkan ayah.. ayah sangat menyesal..” tambah nya lagi.

“Maaf untuk apa yaah ? Ayah ndak salah kok” sahut ibu dengan lembut. “Ayah tahu, pasti Ibu sangat marah pada Ayah,” jawab Ayah lagi.

“Ibu ndak marah sama Ayah, Ibu hanya benci dengan perlakuan Ayah” jawab ibu. “Iya yah, kami gak pernah marah pada ayah, muti hanya benci dengan kelakuan dan jalan yang ayah pilih saja, kata Mutia pada ayah,

“Ayah jangan pernah pergi lagi ninggalin kami yaah” pujuk Mutia menaruh harapan. “Makasih sayang,, makasih buu,, ayah janji ayah akan terus bersama kalian,

Ayah janji gak meninggalkan kalian lagi” sesal ayah. Dan ketiganya kembali saling berpelukan ditengah jalan dan ditengah malam yang bahagia itu.

Semoga harapan Mutia dan janji-janji ayahnya dapat terwujud. Aamiin…

*Sumber : Kiki
Baca Juga :

Artikel Terkait