Sabtu, 14 Oktober 2017

Cerpen Nasehat - Cinta Titipan Sahabat

Tags






Cerpen Nasehat - Cinta Titipan Sahabat
Jum’at kali ini rohis dipimpin oleh kelas XII IPA 2. Dan yang bertilawah adalah kak Irwan, sosok yang sejak aku kelas X sudah mengaguminya.

Mata ku tidak dapat berpaling dari wajah Kak Irwan. Sehingga aku tidak dapat fokus dengan rohis yang tanpa ku sadari telah selesai berlangsung.

Kak Irwan adalah senior yang paling terkenal ramah kepada siapapun, semua teman-temanku menyebutnya sebagai pangeran senyum.

Karena ia tak pernah meninggalkan senyuman setiap kali bertemu dengan teman maupun guru. Selain itu ia juga bijaksana dalam mengemban amanah sebagai ketua osis.

Itulah kenapa aku sangat suka padanya. Namun Aku tidak seperti kebanyakan wanita saat ini. Kalau suka dengan seseorang langsung saja ia mengutarakannya, dan aku tidak ingin seperti itu.

Bagiku rasa suka bukan berati harus memaksakan kehendak dan merendahkan diri. Aku lebih memilih menjadi pengamat Kak Irwan saja.

Mungkin suatu saat nanti jika umurku sudah pantas untuk mengenal lebih dalam tentang cinta aku akan menunjukkan sikap sukaku pada Kak Irwan.

Dan yang pasti jika Allah mengizinkan kami bertemu kembali.

Irama bell diperdengarkan dari kantor, siswa-siswi berbondong-bondong menyerbu pemadam kelaparan yang berderet beberapa pintu dekat mushola.

Kecuali aku yang lebih suka menyepi didalam kelas, sambil berdiri didepan kaca jendela. Mataku tertuju pada pemandangan yang sangat kunikmati.

“Ki.. ke kantin yuk !!” ajak Ririn, sahabat karib yang paling aku sayangi. Namun aku masih membisu menikmati pemandangan indah itu.

“Kiki.......”pekik Ririn. “Duuuh.. Ririn kok teriak-teriak sih..” jawabku santai. “Yaa abisnya dipanggil dari tadi gak nyahut-nyahut..emangnya lagi liatin apa sih ?” celoteh Ririn

“Eee.. enggak ada kok..” elak ku. “Oooh... rupanya kak Irwan” kata Ririn pelan. “Yuk kekantin, laper nih” tambahku mengalihkan

Tapi kali ini malah Ririn yang tak menghiraukan ajakanku, ia juga ikut terhanyut dalam pemandangan itu.

Sepertinya Ririn juga menyukai Kak Irwan, tak heran kalau Kak Irwan menjadi dambaan setiap siswi.

Karena bagiku Kak Irwan memang tampan, kulitnya yang putih, berhidung mancung, lesung pipi yang selalu nongol ketika ia senyum.

Dan gaya rambut keren yang menyerupai rambut naruto menurutku. Siang ini mentari terlalu bersemangat memamerkan sinarnya.

Tiap jengkal aspal jalanan yang aku tapaki menghasilkan kristalisasi keringat seperti kata Vicky Prasetyo dalam bahasa inteleknya sehingga membasahi bagian belakang seragam sekolahku.

“Kalau aja angkot wak joya gak rusak pasti gak jalan kaki gini..” gerutu ku. “Sabar dong ki, kan bisa naik angkot lain..” sahut Ririn

“Iya bisa, tapi gak seperti wak joya yang selalu menjemput ke gerbang sekolah. Nasib baik ada kamu yang nemenin aku...” omel ku pada Ririn

Ririn hanya menghela nafas sambil melebarkan senyum mendengar celotehanku, Ririn memang sahabatku yang paling sabar, ia juga paling setia denganku. Rela ngelakuin apapun untuk ku dan akupun begitu padanya.

Kami sangat kompak sekali. Bahkan wajah kami sudah mirip karena keseringan bersama. Apa-apa harus sama.

Kelas sama, tempat duduk sama, ngerjain PR sama-sama, makan dikantin sama-sama, everything lah pokonya harus sama-sama.

Asalkan nanti suami kami tidak sama yaa.. he.he.he. Tidak terasa begitu cepat waktu berlalu.

Entah waktu yang berlalu meninggalkan ku atau kah aku yang malah beranjak meninggalkan sang waktu.

Yang pasti masa putih abu-abu ku akan segera berahir. Dan tidak akan pernah bisa terulang kembali. Kulihat teman-teman membuka amplop nya masing-masing yang disertai sorakan gembira.

Tapi aku masih menunggu sahabatku, aku akan membukanya bersama Ririn. Karena mungkin hari ini terahir kami bersama-sama.

Tidak lama aku menunggu sahabat ku ini akhirnya tiba dan kami pun membuka amplop. Dan,, “yeey... Alhamdulillah lulus” sorak ku dan Ririn serentak.

***

Langit mulai menampakkan warna jingga dari riak mentari yang melemah, hijaunya pepohonan pun mulai nampak hitam.

Bahkan panggilan indah azan pun hampir dikumandangkan, namun aku masih melajukan kendaraan ku menelusuri jalanan kota.

Sekali seminggu saat cuti begini aku menyempatkan diri menghadiri majlis ilmu yang diadakan dimasjid dekat kantorku.

Mengingat kesibukan kantor yang melebihi kesibukanku semasa kuliah setahun lalu. Azan pun telah berkumandang, dan aku tepat tiba diparkiran.

Aku segera menuju kamar kecil masjid itu untuk berwudu, menjalankan kewajiban ku 3 rakaat dan disusul 2 rakaat sunnah yang menyempurnakan 3 rakaat ku.

Selepas isya’ barulah pengajian dimulai, aku bersama akhwat-akhwat yang lain memenuhi ruangan belakang masjid.

Sementara didepan dibalik hijab yang menjadi pembatas para ikhwan pun telah memenuhi ruangan.

Di sebelahku seorang bayi sekitar berumur 9 bulan menangis membuatku tidak fokus mendengarkan ustad yang mengisi pengajian kala itu.

Aku menoleh ke arah bayi itu. “Adiik kenapa menangis...?” sapaku

“Azza  nya rewel tante.. gak enak badan” jawab ibu muda yang menggendong bayi mungil bernama Azza itu.

Saat aku menoleh ke arah ibu muda itu.. “Loh, Ririn???” sapaku dengan mata melotot seperti akan copot

“Kiki yaaa?” jawabnya padaku dengan ekspresi yang sama. “Bagaimana mungkin ada disini juga ? Kamu sudah menikah ? Dengan siapa ? dan bla bla bla...”

Banyak sekali pertanyaan yang terlontarkan yang membuat Ririn tidak dapat menjawab sekaligus. “Kita ngobrol di luar yuk.. takut ganggu yang lain..” ajak Ririn

Dengan semangat aku keluar ingin mendengar cerita Ririn, juga saking girangnya bertemu dengan sahabat yang sejak 5 tahun lalu tidak berjumpa.

Teras mesjid yang lumayan luas menjadi tempat Aku menghabiskan waktuku bersama Ririn.

Mengobrol, menceritakan semua pengalaman kami masing-masing selama 5 tahun terakhir semenjak kami berpisah.

Saling melepas rindu yang telah lama tertahan di dada. Sampai akhirnya kami tidak menyadari pengajian pun telah usai.

Sosok pria dengan baju koko berwarna merah hati yang begitu serasi dengan kulit putih nya, berjalan tegap penuh wibawa kian mendekat kearah kami.

Mataku terpaku tak dapat perpaling dari pria itu. ”Sepertinya aku mengenali pria ini” gumamku dalam hati.

“Kiki...kok bengong gitu ngeliatin suami ku” kata Ririn mengacaukan lamunanku. “Mmm... eeee... apa tadi ?” jawabku gugup

“Kamu kenapa bengong ngeliatin suami aku ???. “Suamiii ??? Kak Irwan suami kamu rin ??

Ririn hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan ku, Aku tergemap seketika menyaksikan semua ini.

Aku tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Bagaimana mungkin Kak Irwan yang aku dambakan selama ini telah mempunyai sang pujaan didalam hatinya.

Dahkan mereka juga telah memiliki buah dari hasil cinta mereka. Dulu aku sangat yakin Allah akan mempertemukan aku dengan Kak Irwan jika kami berjodoh.

Tapi kenyataan yang aku alami sekarang sangat jauh berbeda dengan apa yang aku harapkan selama ini.

Allah mempertemukan kami kembali bukan untuk dijodohkan, melainkan untuk menyaksikan kebahagiaan dan keharmonisan keluarga kecil mereka.

Aku sangat iri melihat mereka yang tidak memerlukan waktu lama untuk saling menyempurnakan dien.

Bahkan tidak sedikit dari teman-teman SMA ku diusia muda sangat terlihat bahagia dalam balutan cinta, tersenyum indah dalam ikatan pernikahan.

Tapi aku ???

Diusia yang sudah hampir seperempat abad masih saja hidup dalam kesendirian yang tentu saja sangat membosankan.

Namun aku tidak boleh larut dalam kesedihan ini, aku segera menepis prasangka buruk tentang takdir ku.

Aku tau berkah Allah hadir kepada mereka yang senantiasa menjaga kehormatannya. Dan aku harus menunggu lama untuk dipertemukan dengan jodohku.

Mungkin Allah sedang mempersiapkan diriku juga jodohku untuk menjadi hamba yang sabar dan ikhlas.

Semenjak pertemuan ku dengan Ririn dan keluarga kecilnya kala itu, aku dan mereka kembali akrab seperti dulu, seperti masa-masa SMA.

Aku sering mengunjungi rumah Ririn untuk bertemu dengan Azza. Aku selalu merindukan putri mungil itu, sehingga memaksaku selalu mendatanginya.

Ririn pun demikian. Kala suaminya di kantor ia sering merasa bosan dirumah. Ririn sering menghabiskan waktu bersama putri kecilnya di rumahku.

Sore itu sepulangku dari kantor aku sangat terkejut mendengar tangisan bayi di rumahku.

Ternyata Azzalah yang mengeluarkan tangisan itu, Ririn memang sering ke rumah ku walapun aku sedang tidak dirumah.

Karena memang Ririn telah ku beri tahu tempat aku biasa menaruh kunci rumah saat aku kerja.

Namun aku tidak menemui sosok Ririn di rumah ku, Azza yang masih bayi belum bisa ku tanyai dimana ummi nya.

Aku segera menggendong Azza yang masih menangis untuk ku diamkan. Dan aku mendengar deringan ponsel Ririn yang beberapa kali tidak terjawab, asalnya dari dapur.

Aku segera menuju dapur. Namun tiba-tiba.. “Ririiin.....” pekik ku pada sosok wanita yang telah tergeletak dilantai dapur.
Cerpen Nasehat - Cinta Titipan Sahabat
Azza semakin menguatkan tangisannya mendengar aku memekik dekat telinganya. Mungkin ia terkejut dan aku juga terkejut melihat Ririn yang terkulai tak berdaya seperti itu.

Wajah nya pucat pasih dengan peluh yang mengalir dari hidungnya. Kurogoh saku Ririn untuk mendapatkan ponselnya yang berdering lagi.

Ternyata Kak Irwan yang menelpon mencemaskan anak dan istrinya yang belum kunjung pulang. Dan aku menjelaskan apa yang telah terjadi pada Ririn di rumahku.

Dan sesampainya Kak Iwan kami segera membawa Ririn ke rumah sakit. Setelah kurang lebih satu jam menunggu, akhirnya dokter pun keluar dari ruang ICU tempat Ririn terbaring.

“Bagaimana kondisi istri saya dok?” tanya Kak Irwan. “Anda suaminya ? Mari ikut keruangan saya..!” ajak dokter itu kepada kak Irwan.

Aku membuntuti mereka, dan menguping apa yang mereka bicarakan. Ternyata Ririn mengidap kanker otak stadium 4.

Dan selama ini Ririn tidak memberitahukannya pada siapapun termasuk aku dan suaminya.

Sosok Ririn yang selalu terlihat bahagia dan tegar, aku tidak pernah menduga kalau ia menderita separah itu.

“Bagaimana kata dokter ??” tanya ku pada suami Ririn yang baru saja keluar dari ruangan dokter. “Ririn mengidap kanker, udah stadium akhir, kata dokter umur Ririn hanya tersisa 2 bulan lagi.

Dan itupun Ririn harus dirawat disini” jawab Kak Irwan dengan air mata yang begitu derasnya. Setelah menunaikan kewajiban 3 rakaat, aku tersungkur lemas dimushola dekat ruang ICU.

Mengingat apa yang disampaikan dokter tadi aku sangat tidak percaya dengannya. Bagaimana mungkin hanya seorang dokter berani memvonis umur Ririn dua bulan lagi.

Bukankah ketentuan hidup manusia ada di tangan Allah dan tak lupa aku panjatkan doa untuk Ririn. Semoga dokter itu keliru telah berkata demikian.

Aku sungguh kerepotan menggendong bayi gendut ini, ia terus saja menangis. Dan aku tidak faham apa yang ia minta.

Barangkali ia rindu pada umminya yang sudah hampir sebulan terbaring tidak sadarkan diri. Aku mencoba membawa Azza kedalam tempat Ririn terbaring.

Ku dekatkan Azza ke telinga Ririn, aku berharap Ririn akan membuka matanya mendengar tangisan putri kecilnya ini.

Tapi usahaku sia-sia. Tubuh Ririn tidak bergerak, matanya pun tidak berusaha terbuka. Tapi.. air mata Ririn mengalir, sepertinya ia merespon apa yang telah kulakukan tadi.

Segera kupanggil dokter, dan kukabari kak Irwan. Bibir Ririn bergerak, sepertinya ia juga berusaha membuka matanya perlahan.

Aku sangat senang karena Ririn telah sadar, tapi aku juga kasihan melihat kondisinya yang masih lemah.

“K..ki..ki..” pangil Ririn dengan terbata-bata. Aku bingung kenapa aku yang pertama kali ia sebut, mengapa tidak Irwan atau Azza.

“Iyaa.. aku disini rin, bersama Azza juga kak Irwan. Kamu cepat sembuh yaaa, kamu harus kuat..” kataku memberi semangat.

“A..aku b.boleh m.min..ta t.toolooong ? too..loong gan.tikan aku,, jadi i.bu yang b.baik b.buat Azza juga is.tri b.bu..at mas Irwaan.

A.aku min.taa maaf jika b.banyak nge.repotin k.kalian. t.terimaa k.ka sih ki.ki....” kata Ririn sehingga membuat aku kak Irwan juga dokter yang ada disini menangis...

“Kamu ini bicara apa rin.. kamu itu kuat, kamu pasti bisa melewati ini semua..” kataku menenangkan.

“Ashadu..Alaa i..llaa ha illallah.. wa.ashadu ana muhammad.. durrosulullah...” dengan air yang megnalir dari matanya, selepas mengucapkan kalimat terahir itu ia menjatuhkan kepalanya kekanan.

Badannya pucat dan sangat dingin.. Innalillahi wainnaillahi rojiun.. Azza sepertinya pun tahu bahwa umminya telah pergi meninggalkannya, ia menangis tak henti-hentinya.

Begitu juga Kak Irwan, tak kalah sedih dengan Azza.

Terlebih denganku sendiri, sosok sahabat yang baru saja kutemukan kembali setelah 5 tahun lamanya tidak bertemu kini kami harus terpisah lagi dengan sebenar-benarnya perpisahan.

Kesedihanku pun tak mampu tergambarkan. Setelah selesai jenazah Ririn dimandikan dikafan kan disholatkan dan terakhir dikebumikan, aku enggan meningalkan rumah ini.

Terlebih pada Azza, bagaimana nasibnya jika seorang abii yang merawatnya.

Aku meminta izin untuk membawa Azza pulang kerumah, tapi Azza tidak mau jika tidak dengan abiinya.

Akhirnya Kak Irwan menyarankan agar aku saja yang tinggal disini, agar Azza ada yang ngurus namun tetap dekat dengan abiinya.

Tapi mana mungkin aku tinggal serumah dengan Kak Irwan, apa kata tetangga melihat kami bukan mahrom namun tinggal serumah.

Tapi, kami ingat wasiat Ririn. Ia menginginkan aku menggantikan posisinya sebagai ibu dan istri buat mereka berdua.

Akhirnya setelah berembuk bersama keluarga juga, aku dan Kak Irwan setuju untuk menikah. Aku juga janji pada Ririn akan menjaga baik-baik amanah hebat yang ia berikan padaku.

Terlebih karena Kak Irwan sejak dulu hingga kini adalah cinta dibalik diamku, Azza yang telah kucintai seperti anakku sendiri. Aku akan menjaga keluargamu ini rin...

Allah telah menjawab harapanku selama ini, dan telah mengajarkan padaku menjadi orang yang pandai mensyukuri apa yang telah dan akan ku miliki.

Telah tamat dari kata menanti dan telah faham dari hakikat mencintai.
(^_^)

*Oleh: Kiki (Nama pena ku)
Baca Juga :

Artikel Terkait