Rabu, 15 Februari 2017

Kasus Anglo: Norwegian Fisheries Case







Fakta Hukum

Pada tahun 1935, Raja Norwegia mengeluarkan Decrit Kerajaan (Royal Decree) yang menetapkan lebar laut territorial Norwegia 4 (empat) mil laut yang diukur dari pantai pada waktu air laut surut.

Tetapi tidak mengikuti lekukan-lekukan pantainya melainkan dengan menghubung-hubungkan titik-titik terluar dari pantainya atau titik-titik terluar dari pantai pulau-pulau di depannya.

Penarikan garis pangkal seperti ini dianut oleh Norwegia dengan alasan bahwa situasi geografis dari pantai-pantai Norwegia yang sedemikian rupa berliku-likunya yang disebut fjord dan di depannya terdapat banyak deretan atau gugusan pulau maupun karang-karang kering.

Jadi tidaklah mungkin bagi Norwegia untuk menerapkan garis pangkal normal dalam mengukur lebar laut territorialnya.


Dengan berdasarkan pada garis pangkal lurus dalam mengukur lebar laut teritorialnya.

Norwegia memang lebih beruntung jika dibandingkan dengan mendasarkan pada garis pangkal normal, sebab bagian laut yang menjadi perairan teritorialnya menjadi bertambah luas.

Bagian laut yang semula merupakan laut lepas ketika masih berdasarkan garis pangkal normal kini menjadi bagian dari laut teritorial Norwegia.

Dengan penerapan garis pangkal lurus ini, tentu saja Inggris sebagai negara tetangga yang berhadapan langsung dengan Norwegia merasa sangat dirugikan.

Karena nelayan-nelayannya yang menangkap ikan di laut yang semula merupakan bagian dari laut lepas di depan pantai Norwegia yang dengan menerapkan garis pangkal lurus maka akan berubah statusnya menjadi laut teritorial Norwegia, kini dilarang menangkap ikan bahkan ditangkap dan diadili oleh Norwegia.

Inggris menentang tindakan Norwegia ini dan mengajukan protes keras sehingga berkembang menjadi sengketa.

Sebenarnya, yang ditentang oleh Inggris bukanlah lebar laut teritorial Norwegia yang 4 mil, tetapi penerapan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dalam pengukurannya.

Sebagaimana tercantum dalam Decrit kerajaan Norwegia 1935, jalan damai melalui perundingan ternyata tidak berhasil menyelesaikan sengketa ini

Akhirnya kedua pihak sepakat untuk mengajukannya ke hadapan Mahkamah Internasional pada tahun 1949.

Dan pada tahun 1951 Mahkamah Internasional yang memeriksa perkara ini sampai pada keputusan yang membenarkan tindakan Norwegia tersebut.

Permasalahan Hukum

Inggris menanyakan ke Mahkamah Internasional apakah metode deliminasi yang dilakukan oleh Norwegia bertentangan atau tidak bertentangan dengan hukum internasional ?

Hukum yang mana ?

Dasar Pertimbangan Mahkamah

1. Atas gugatan yang dilakukan oleh inggris terhadap Norwegia, mahkamah berpendapat bahwa sistem mengukur dengan garis lurus mengikuti garis pantai telah diterapkan secara sungguh-sungguh oleh Norwegia sejak abad ke-17 dan daerah tersebut juga sudah dari abad ke-17 dijadikan sumber mata pencaharian bagi nelayan Norwegia.

Mahkamah kemudian menunjuk bahwa karena tidak adanya protes negara lain termasuk Inggris (menurut Norway, Inggris dan mereka telah sepakat terkait zona tersebut berabad - abad yang lalu) dan keadaan demikian telah merupakan praktek yang telah lama dilaksanakan maka Mahkamah berpendapat bahwa sistem garis pangkal Norwegia adalah sesuai dengan hukum internasional.

2. Pertimbangan mahkamah berdasarkan atas bentuk geografis negara Norwegia yang mempunyai corak yang khas, yaitu pantainya berliku-liku (fjord) dan di depan pantai terdapat deretan pulau yang dalam bahasa Norwegia disebut “skjaergaard” yang patut termasuk wilayah Norwegia atau menurut sejarahnya dianggap demikian.

Analisa Keputusan MI

Beberapa hal penting yang berhubungan dengan penafsiran atas suatu undang-undang nasional dan konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hukum bagi mahkamah yaitu :
  • Mahkamah telah melakukan metode penafsiran sejarah atau penafsiran interprestasi Historis. Dimana dalam ketentuan Pasal 38 ayat 1, kebiasaan-kebiasaan internasional dijadikan salah satu sumber hukum internasional.
  • Mahkamah mengacu kepada kebiasaan Norwegia, karena terbukti bahwa praktek yang dilakukan oleh Norwegia sudah berlangsung cukup lama dan terus menerus disamping itu tidak ada yang memprotes hal tersebut.
Hukum kebiasaan internasional dijadikan sebagai sumber hukum apabila memenuhi 2 unsur :
    1. Harus terdapat sesuatu kebiasaan yang bersifat umum. 
    2. Kebiasaan itu harus diterima sebagai hukum.[1]
    [1] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, halaman 144.

    The Principle Of Effektiveneess [2], yang telah diterapkan oleh mahkamah dalam memutus perkara ini dimana dekrit raja mengenai penarikan garis pangkal lurus tersebut diterapkan oleh Norwegia secara sungguh-sungguh sehingga penarikan garis pangkal lurus ini lebih efektif, bermanfaat, dan sesuai,

    Karena secara geografis deretan pulau-pulau yang berada di sepanjang pantai Norwegia secara yurisdiksi merupakan wilayah perairan Norwegia.

    [2] J.G. Starke, An Introduction to International Law, dalam Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Op, Cit, halaman 24

    Kasus anglo Norwegia Fisheries ini merupakan landmark dari kebiasaan internasional sehingga melahirkan konvensi Jenewa tahun 1958 dimana konvensi ini mengatur tata cara penarikan garis pangkal.

    Konvensi I Jenewa tahun 1958 mengenai laut teritorial dan jalur tambahan (Convention on the Territoal Sea and Contiguous Zone) menetapkan bahwa apabila penarikan garis pangkal dari ujung ke ujung diberlakukan maka tadinya laut yang merupakan laut lepas menjadi laut pedalaman di mana harus ada hak lalu-lintas damai (right of innocent passage) [3].

    [3] Tyo setiadi, “Anglo-Norway Fisheries  Case” Ibid

    *Sumber: Prima A.H.
    Baca Juga :

    Artikel Terkait